Televisi
Kemunculan
televisi pada awalnya di tanggapi biasa saja oleh masyarakat.Selain itu harga
pesawat televisi saat itu masih mahal, kemudian juga belum ada atau tersedia
banyak program untuk disaksikan. Pengisi acara televisi pada masa itu bahkan
meragukan masa depan televisi, mereka tidak yakin televisi dapat berkembang
dengan pesat. Pembawa acaranya ketika itu, harus mengenakan makeup biru tebal
agar dapat terlihat normal ketika muncul di layar televisi. Mereka juga harus
menelan tablet garam untuk mengurangi keringat yang membanjir di badan karena
intensitas cahaya lampu studio yang sangat tinggi, menyebabkan para pengisi
acara sangat kepanasan.Pemilik televisi sendiri pada zaman itu sangatlah minim
tidak sebanyak dan sepopuler saat ini, hanya orang-orang yang berada pada
kalangan ataslah yang dapat menikmati dan memiliki televisi.Namun saat ini
sangatlah berbeda semakin berkembangnya zaman televisi kini bisa dinikmati oleh
siapapun tanpa menghiraukan status sosial mereka, selain itu juga harga
televisi kini semakin beragam tak semahal dulu lagi.Harganya mulai dari yang
murah hingga yang jutaan.
Perkembangan
industri televisi di AS mengikuti model radio untuk membentuk jaringan.Stasiun
televisi lokal selain menayangkan, program local juga bekerjasama dengan
televisi jaringan yaitu CBS, NBC, dan ABC.Sebagaimana radio ketiga televisi
jaringan itu menjadi sumber program itama bagi stasiun afiliasinya.Semua
program televisi pada walnya ditayangnkan dalam siaran langsung (live). Ketika itu belum ditemukan kaset
penyimpan suara dan gambar (videotape),
karena ini para pengisi acara harus mengulang lagi pertunjukkannya beberapa
kali agar dapat disiarkan pada kesempatan lain. Barulah pada tahun 1956, Ampex
Corporation berhasil mengembangkan videotape
sebagai sarana yang murah dan efisien untuk menyimpan suara dan gambar program
televisi. Pesawat televisi berwarna mulai di perkenalkan kepad apublik pada
tahun 1950an, siaran televise berwana pertama kali di lakukan oleh stasiun
televisi NBC pada tahun 1960 dengan menayangkan program siaran berwarna selama
tiga jam perharinya.[1]
Siaran televisi
di Indonesia dimulai pada tahun 1962 saat TVRI menayangkan langsung upacara
hari ulangtahun kemerdekaan Indonesia ke-17 pada tangggal 17 Agustus 1962. Siaran langsung itu masih terhitung sebagai
siaran percobaan.Siaran resmi TVRI baru dimulai 24 Agustus 1962 jam 14.30 WIB
yang menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games ke-4 dari stadion
utama Glora Bung Karno.[2]
Selama 27 tahun
lamanya Indonesia hanya bisa menonton satu saluran telivisi saja, pada tahun
1989, barulah pemerintah memberikan izin operasi kepada kelompok usaha
Bimantara untuk membuka stasiun televise RCTI yang merupakan televise swasta
pertama di Indonesia dan kemudian disusul oleh SCTV, Indosiar, ANTV dan TPI
yang sekarang di ganti dengan MNCTV. Menjelang tahun 2000 muncul hampir secara
serentak lima televise swasta baru (Metro, Trans, TV7, Lativi, dan Global)
serta beberapa televisi daerah. Tidak ketinggalan pula munculnya televisi
berlangganan yang menyajikan berbagai program dalam dan luar negeri.[3]
Dulu
televisi sangat diragukan akan perkembangannya namun meski demikian
perkembangan televisi sangat pesat bahkan televisi sangat digemari hingga saat
ini. Menurut penelitian yang dilakukan pada masyarakat Amerika ditemukan bahwa
hampir setiap orang di benua itu menghabiskan waktunya untuk nonton televisi.Bahkan
saat ini jenis program yang di tayangkan oleh televisi pun sangat beragam mulai
dari informasi, hiburan sampai pendidikan ada.
Telaah
yang sudah banyak dilakukan tentang televisi cenderung pada kesimpulan bahwa
televisi melebihi kemampuan media massa lainnya dalam mempengaruhi sikap maupun
perilaku khalayak.[4]
Televisi mampu membujuk khalayak untuk mengonsumsi lebih banyak dan lebih lagi.
Televise memperlihatkan bagaimana kehidupan orang lain dan memeberikan ide
tentang bagaimana kita ingin menjalani hidup ini.[5]
Hal
ini bisa dilihat dari ciri-ciri televisi yang bersifat audio dan video, dimana
audio dan video ini bisa dinikmati oleh siapapun baik orang itu tidak bisa
melihat maupun yang bisa melihat, baik yang tidak bisa berbicara maupun yang
normal sekalipun.Selain itu juga televisi dapat di sampaikan cepat, mencapai
khalayak yang tidak terbatas jumlahnya.Khalayak yang melihat tayangan televisi
tidak dapat terhitung dan di hitung berapa jumlahnya, siapapun yang memiliki
televisi baik itu kakek-kakek, nenek, orang tua maupun anak-anak menonton
televisi.Di dalam televisi pun terdapat beberapa bentuk tayangannya film yang
menggambarkan kehidupan, komunikasi tertulis, potret serta yang lainnya. Serta
televisi juga memiliki ciri khusus tersendiri yang membedakan dirinya dengan
media massa lainnya, televisi menyerupai komunikasi tatap muka.
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa penonton televisi menjadi saksi visual tentang
bermacam – macam kejadian yang timbul disekeliling dunia. Pada hakikatnya
berfungsi juga memindahkan realitas dari satu tempat ke tempat lain.[6]
Memindahkan
suatu realitas yang ada dari satu tempat ke tempat lainnya merupakan salah satu
fungsi televisi. Misalnya saja sebuah peristiwa telah terjadi di Nepal kemarin
gempa yang telah menewaskan banyak orang dan juga banyak di antaranya luka-luka
di beritakan atau di informasikan serta di gambarkan bagaimana keadaa terakhir
disana bagaimana acara berita televisi menceritakan kejadian melalui sebuah
gambaran dan juga narasi yang di buat sesuai dengan kenyataannya tidak hanya
orang Nepal yang bisa merasakan kesakitan serta kesedihan akibat gempa namun
seluruh dunia pun ikut merasakan sakit serta sedih akibat dari peristiwa atau
kejadian tersebut itu lah yang dikatakan sebagai memindahkan sebuah realitas ke
tempat realitas yang ada melalui televisi.
[1] Morissan, Manajemen Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi, (Jakarta:
Kencana , 2008) , Hlm. 7
[2] Ibid Hlm. 9
[3] Ibid, Hlm. 10
[4] Andi Alimuddin Unde, Televisi dan Masyarakat Pluralistik,(Jakarta:
Prenada Media Group,2014), Hlm. 11
[5] Icha Wulansari dan Indah
Suryawati, Laporan Investigasi Konsep dan
Praktek Jurnalistik, (Banten : Empat Pena Publishing, 2013), Hlm. 61.
[6]Andi Alimuddin Unde, Op. Cit., Hlm. 12
Komentar
Posting Komentar